PEMBERANTASAN KORUPSI DI SINGAPURA
Cahyo Adhi Nugroho, Ferik Yunarko, Haris Junaidi, Kharisma Muhammad,
Niken Rogo Rahayuningtias, Sweetta Wulandari
Kelas 9-D Diploma IV Akuntansi Reguler, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang Selatan
9dstan2015@gmail.com
Abstrak – Korupsi terjadi hampir di seluruh negara di dunia, tak terkecuali Singapura. Dulu, Singapura pernah mengalami keadaan di mana korupsi merajalela. Saat ini, Singapura telah diakui oleh dunia internasional sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi paling rendah. Terlihat dari tingginya nilai Indeks Persepsi Korupsi berdasarkan hasil survey Lembaga Transparansi Internasional, Singapura berada pada peringkat atas dunia. Keberhasilan tersebut tak lepas dari peran serta pemerintah beserta masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Berdasarkan hal tersebut, makalah ini akan membahas mengenai praktik korupsi, langkah pemberantasan korupsi, pencegahan korupsi, dan hasil dari pemberantasan korupsi di Singapura.
Kata kunci: praktik korupsi, pemberantasan, pencegahan korupsi, Singapura
1. PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang
Republik Singapura merupakan sebuah Negara pulau yang terletak di sebelah selatan Semenanjung Malaya, berbatasan laut dengan Johor (Malaysia) dan Kepulauan Riau (Indonesia). Lokasinya yang strategis membuat Singapura menjadi salah satu pusat perdagangan di Asia Tenggara. Menurut Department Of Statistics Singapore, pada tahun 2014 Singapura memiliki luas wilayah 718,3 km2 dan jumlah penduduk 5.469.700 jiwa. Meskipun mempunyai luas wilayah dan jumlah yang kecil, Singapura berhasil mengalami kemajuan ekonomi yang luar biasa. Ekonomi Singapura dianggap sebagai salah satu yang paling terbuka, kompetitif, dan inovatif di dunia. Menurut International Monetary Fund, pada tahun 2014 dan per April 2015 Singapura memperoleh peringkat ke-3 tertinggi di dunia dalam Produk Domestik Bruto per kapita yaitu $ 82,762.15 dan $ 85,198.16 per kapita.
Meskipun termasuk negara yang maju, Singapura tak lepas dari penyakit korupsi. Menurut survei dari lembaga Transparency International, Singapura pada tahun 2014 memperoleh nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 84 dan menduduki peringkat ke-7 dari 175 negara di dunia. Dari hasil survei tersebut membuktikan bahwa rendahnya korupsi di Singapura dapat mendorong kemajuan perekonomian negaranya.
Menurut Transparansi Internasional, sesuai yang dilansir pada jaringan situsnya, IPK menilai dan memberi peringkat pada suatu negara atau kawasan wilayah berdasarkan seberapa korupnya sektor publik dirasakan pada negara atau kawasan tersebut. IPK mengukur tingkat persepsi korupsi di sector public, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pejabat Negara dan politisi. IPK direpresentasikan dalam bentuk bobot skor/angka (score) dengan rentang 0-100. Skor 0 berarti negara dipersepsikan sangat korup, sementara skor 100 berarti dipersepsikan sangat bersih dari korupsi.
Penilaian berdasarkan persepsi itu sendiri dikarenakan korupsi secara umum meliputi kegiatan ilegal, yang biasanya tertutup dan hanya terkuak melalui skandal, investigasi dan tuntutan hukum. Tidak mudah untuk menilai suatu tingkatan mutlak korupnya suatu wilayah berdasarkan murni dari data empiris. Cara-cara dengan membandingkan tindak penyuapan yang dilaporkan, jumlah tuntutan dan studi kasus mengenai korupsi secara langsung yang diajukan secara hukum, tidak dapat dianggap sebagai indikator pasti mengenai tingkatan korupsi di suatu negara. Sehingga mengumpulkan persepsi korupsi oleh pihak-pihak yang memegang jabatan dalam sektor publik dianggap sebagai metode yang paling baik dalam membandingkan tingkat relatif korupsi dari berbagai negara di belahan dunia.
Melihat keksuksesan Singapura dalam pemberantasan korupsi sudah seharusnya Indonesia mencontoh langkah Singapura tersebut. Indonesia pada tahun 2014 mendapat nilai IPK hanya 34 dan menduduki peringkat ke-107, sangat jauh dibanding negara tetangganya yaitu Singapura. Oleh karena itu, paper ini akan menjelaskan mengenai praktik korupsi, langkah pemberantasan korupsi, pencegahan korupsi, dan hasil dari pemberantasan korupsi di Singapura.
1.2. Maksud dan Tujuan
Tulisan ini disusun dalam rangka pemenuhan tugas mata kuliah Seminar Anti Korupsi. Melalui tulisan ini, penulis bermaksud untuk menjelaskan mengenai praktik korupsi, langkah pemberantasan korupsi, pencegahan korupsi, dan hasil dari pemberantasan korupsi di Singapura. Diharapkan dengan adanya tulisan ini, pembaca dapat memperoleh pemahaman dan pandangan yang lebih komprehensif mengenai pemberantasan korupsi di Singapura.
2. LANDASAN TEORI2.1. Pengertian Kurupsi
Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, buruk, memutarbalik, atau menyogok. Korupsi tumbuh seiring dengan berkembangnya peradaban manusia dan berada di berbagai belahan dunia, bahkan di negara maju sekali pun, seperti halnya Singapura. Korupsi ada di berbagai tingkatan dan tidak ada cara yang mudah untuk memberantasnya. Dampak masif korupsi teramat luas, mulai dari mengancam urusan kenegaraan sampai berdampak pada kehidupan masyarakat baik secara moril maupun materiil. Korupsi telah menciptakan pemerintahan irasional, pemerintahan yang didorong oleh keserakahan, bukan oleh tekad untuk mensejahterakan masyarakat. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat, yang memakai uang sebagai standar kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak. Sebagai akibat dari korupsi ketimpangan antara si miskin dan si kaya semakin kentara.
Tindak pidana korupsi dapat terjadi bila terdapat kesempatan serta kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang yang memungkinkannya melakukan korupsi. Menurut Onghokham ada dua dimensi di mana korupsi bekerja. Dimensi yang pertama terjadi di tingkat atas, di mana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai uang yang cukup besar. Para diktator di Amerika Latin dan Asia Tenggara misalnya berhasil mengumpulkan uang jutaan dollar dari sumber daya alam dan bantuan luar negeri. Sementara itu dalam dimensi yang lain, yang umumnya terjadi di kalangan menengah dan bawah, biasanya bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat atau orang banyak. Korupsi yang terjadi di kalangan menengah dan bawah acap menghambat kepentingan kalangan menengah dan bawah itu sendiri, sebagai contoh adalah berbelitnya proses perizinan, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), proses perizinan imigrasi, atau bahkan pungutan liar yang dilakukan oleh para oknum penyelenggara pemerintahan, dan lain sebagainya.
Budaya lokal juga menjadi akar dari tumbuhnya korupsi. Budaya yang dianut dan diyakini masyarakat kita telah sedikit banyak menimbulkan dan membudayakan terjadinya korupsi. Dalam budaya Patron-Klien (bos dan anak buah), seorang klien bertindak atas perintah dari patron (atasan). Dalam hubungan Patron-Klien ini dimungkinkan terjadinya pertukaran jasa atau barang. Umumnya Patron akan bertindak dengan mengutamakan kepentingan dia sendiri, sedangkan klien akan bertindak dengan alih “asal bapak senang”. Dalam hubungan ini, ketidaksetaraan akan terjadi, dan tindakan-tindakan di luar etika sangat dimungkinkan, dan dari sinilah korupsi mulai terbentuk.
2.2. Penyebab Korupsi
Penyebab korupsi bervariasi dan beraneka ragam. Faktor-faktor secara umum yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi antara lain yaitu :
• ketiadaan pemimpin yang cakap, yang memiliki political will dalam pemberantasan korupsi;
• sistem pendidikan yang kurang menekankan akan pentingnya akhlak, moral, dan agama;
• tingkat kemiskinan yang semakin meluas;
• tidak adanya tindakan hukum yang tegas;
• kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi;
• struktur pemerintahan;
• keadaan masyarakat yang semakin majemuk..
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
• Greeds (keserakahan); berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
• Opportunities (kesempatan); berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
• Needs (kebutuhan); berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
• Exposures (pengungkapan); berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.Perbuatan pidana/tindak pidana/delik, yaitu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
2.3. Macam-Macam Korupsi
Berdasarkan pasal-pasal UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7 kelompok yakni :
1. merugikan keuangan Negara,
2. suap-menyuap,
3. penggelapan dalam jabatan,
4. pemerasan,
5. perbuatan curang,
6. benturan kepentingan dalam pengadaan,
7. gratifikasi.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN3.1. Praktik Korupsi di Singapura
Korupsi adalah masalah serius di Singapura selama zaman kolonial Inggris dan setelah pendudukan Jepang (Februari 1942 sampai Agustus 1945) terutama karena kurangnya kemauan politik untuk memberantas korupsi oleh pemerintah yang berkuasa. Sebaliknya, People’s Action Party (PAP) Pemerintah, yang melanjutkan kepemerintahan pada bulan Juni 1959 setelah memenangkan pemilihan umum Mei 1959, telah menunjukkan kemauan politik dengan diberlakukannya Prevention of Corruption Act (POCA) pada bulan Juni 1960, yang memperkuat kapasitas Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) untuk memberantas korupsi secara efektif. Memang, keberhasilan Singapura dalam mengendalikan korupsi tercermin dalam skor tinggi secara konsisten pada Corruption Perceptions Index (CPI) tahun 1995-2012 sebagai negara paling tidak korup di Asia. Singapura menduduki peringkat pertama dengan Denmark dan Selandia Baru di 2010 CPI dengan skor 9,30. Demikian pula, Singapura mendapat peringkat pertama di survei tahunan Political Economic Risk Consultancy (PERC) tentang korupsi tahun 1995-2012.
Konteks kebijakan mengacu pada sejarah, faktor ekonomi, demografi dan politik geografis yang mempengaruhi perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik di suatu negara. Faktor-faktor kontekstual menghambat pelaksanaan strategi anti-korupsi pemerintah yang berkuasa di negara-negara besar atau kepulauan, yang tidak memiliki tradisi meritokrasi, atau kemakmuran ekonomi untuk menyediakan lembaga anti-korupsi dengan kekuatan hukum yang diperlukan, anggaran dan personil yang memadai untuk menegakkan hukum anti-korupsi yang tidak memihak. Di sisi lain, konteks kebijakan Singapura mempromosikan pelaksanaan tentang undang-undang anti-korupsi karena memiliki wilayah yang kecil, pengenalan meritokrasi di Januari 1951 dengan pembentukan Public Service Commission (PSC), kemakmuran ekonomi yang memungkinkan Pemerintah PAP memberikan CPIB anggaran dan tenaga yang memadai, populasi kecil, dan stabilitas politik dan kontinuitas yang timbul dari pemerintah PAP yang berkuasa lebih dari 53 tahun.
Konteks kebijakan Singapura menguntungkan untuk pelaksanaan strategi anti-korupsi yang efektif untuk lima alasan. Pertama, sebagai negara-kota dengan luas tanah 715,8 km persegi, yang setara dengan ukuran Danau Biwa terletak dekat Kyoto di Jepang, atau Danau Taupo di North Island, Selandia Baru, kecilnya Singapura memungkinkan CPIB untuk menegakkan hukum anti-korupsi tidak memihak dan efektif karena kontrol politik yang efektif, komunikasi, koordinasi administrasi, dan tidak adanya pedalaman atau sektor pedesaan.
Kedua, pengenalan meritokrasi oleh pemerintah kolonial Inggris di Januari 1951 dengan pembentukan PSC diperkuat dengan efektivitas CPIB. PSC diciptakan untuk memastikan bahwa perekrutan dan promosi pegawai negeri didasarkan pada prestasi dan bukan dari patronase, dan untuk mempercepat laju lokalisasi di Singapore Civil Service (SCS). Ketika pemerintah PAP berkuasa pada bulan Juni 1959, memutuskan untuk melanjutkan tradisi dengan mempertahankan meritokrasi PSC untuk menarik warga yang "terbaik dan tercerdas" untuk bergabung dengan SCS dengan pemberian beasiswa kepada siswa terbaik di setiap kelompok.
Ketiga, transformasi dramatis Singapura dari negara miskin dengan GDP per kapita sebesar USD 400 dan tingkat pengangguran 14 persen pada bulan Juni 1959 sampai negara makmur secara ekonomi dengan PDB per kapita sebesar USD 50.123 dan tingkat pengangguran yang rendah pada bulan Juni 2011 ini merupakan faktor penting yang berkontribusi terhadap keberhasilan CPIB dalam pemberantasan korupsi. Memang, seperti yang akan ditampilkan kemudian, kemakmuran ekonomi Singapura berarti bahwa pemerintah PAP dapat menunjukkan kemauan politik dalam memberantas korupsi dengan menyediakan personil dan anggaran yang cukup bagi CPIB untuk memungkinkan dalam menerapkan undang-undang anti-korupsi secara efektif.
Keempat, karena penduduk Singapura sejumlah 5.312.400 orang adalah multi-ras, multi-bahasa dan multi-agama, pemerintah PAP telah mempromosikan keharmonisan ras dan diskriminasi diminimalkan terhadap kelompok minoritas dengan memastikan bahwa kedua organisasi publik dan swasta yang adil dan tidak memihak, terlepas dari mereka etnis asal, bahasa, atau agama. Ini berarti bahwa siapa pun yang terbukti bersalah korupsi di Singapura multi-rasial dihukum menurut hukum, terlepas dari kelompok nya etnis, bahasa, atau agama.
Kelima, pemerintah PAP telah berkuasa di Singapura selama lebih dari 53 tahun karena terpilih kembali selama 12 kali setelah menang pemilihan umum Mei 1959. Stabilitas politik Singapura dan kontinuitas merupakan aset penting bagi pemerintah PAP karena sangat kondusif untuk menarik investasi asing dan untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan kebijakan publik sebagai pemimpin politik dapat fokus pada pemenuhan tujuan jangka panjang bukannya dibatasi oleh pertimbangan jangka pendek. Lebih penting lagi, dalam hal pemberantasan korupsi, kelangsungan pemerintah PAP dan komitmennya untuk memberantas korupsi selama lebih dari 53 tahun telah pasti meningkatkan efektivitas strategi anti-korupsi.
3.1.1. Korupsi selama Masa Kolonial Inggris
Korupsi adalah masalah serius di Singapura selama periode kolonial Inggris karena dua alasan: pemerintah kolonial Inggris tidak memiliki kemauan politik untuk memberantas korupsi dan kelemahan ini tercermin dalam penerapan langkah-langkah anti-korupsi yang tidak efektif.
Lemahnya Kemauan Politik
Singapura memulai pertempuran melawan korupsi di tahun 1871, ketika korupsi dibuat ilegal dengan diberlakukannya Penal Code of the Straits Settlements of Malacca, Penang and Singapore. Untuk menghadapi peningkatan jumlah kasus kriminal dan keluhan terhadap Singapore Police Force (SPF), pemerintah kolonial Inggris menunjuk Komisi Penyelidikan pada tahun 1879 untuk menyelidiki penyebab inefisiensi SPF. Komisi menemukan bahwa korupsi merajalela di kalangan para inspektur Eropa dan perwira muda Melayu dan India.
Pada bulan April 1886, Komisi lain ditunjuk untuk menyelidiki perjudian umum di Straits Settlements. Sebanyak 44 saksi memberikan kesaksian di depan Komisi di Singapura dan dari ini, 10 saksi bersaksi meratanya korupsi polisi atas dasar pengamatan dan pengalaman mereka sendiri. Kesaksian dari saksi-saksi ini memberikan bukti yang meyakinkan tentang keterlibatan SPF dengan rumah judi ilegal karena latar belakang mereka yang berbeda. Akibatnya, Komisi menyimpulkan bahwa ada "pengaturan yang sistematis, baik di Singapura dan Penang, untuk merusak Kepolisian" dan korupsi seolah-olah telah "mencapai kelas Inspektur".
Kurangnya kemauan politik pemerintah kolonial Inggris dalam pemberantasan korupsi tercermin dalam tertundanya selama 66 tahun dalam memberlakukan undang-undang anti korupsi yang pertama—Prevention of Corruption Ordinance (POCO)—pada Desember 1937 setelah korupsi dibuat suatu pelanggaran dengan diberlakukannya KUHP pada tahun 1871. Memang, tidak ada yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Inggris untuk memberantas korupsi polisi di Straits Settlements meskipun tahun 1879 dan 1886 Komisi telah memberikan bukti yang meyakinkan dari meratanya korupsi polisi.
Ketergantungan dalam penunjukan komisi untuk menunda pelaksanaan reformasi politik adalah fitur penting dari imperialisme Inggris. KB Krishna telah mengamati bahwa "setiap kali imperialisme Inggris menghadapi krisis besar atau kecil dalam koloni" dijawab dengan menunjuk Royal Commissions and Conferences. Namun, tujuan menunjuk Komisi ini adalah politik dan "tidak untuk menemukan fakta." Lebih khusus, ada tiga alasan pembentukan Komisi Penyelidikan oleh pemerintah kolonial Inggris. Pertama, Komisi ini bertugas untuk mendaftarkan "niat baik hati" imperialisme Inggris. Kedua, Komisi digunakan untuk mendiskreditkan tuntutan partai politik menentang imperialisme Inggris. Ketiga, dan yang paling penting, Komisi dipekerjakan "untuk mendapatkan dan mengulur waktu, untuk melakukan eksploitasi yang sama dengan janji penyelidikan menyeluruh".
Tindakan Anti-Korupsi yang Tidak Efektif
Terlepas dari keterlambatan dalam memberlakukan undang-undang untuk memerangi korupsi polisi, pemerintah kolonial Inggris juga membuat kesalahan serius dalam melewati POCO pada bulan Desember 1937, yang membuat Anti-Corruption Branch (ACB) SPF bertanggung jawab untuk pengendalian korupsi meskipun korupsi polisi merajalela di Singapura.
Tujuannya POCO adalah untuk mencegah "suap dan komisi rahasia dalam bisnis publik dan swasta." Namun, hal itu tidak efektif karena dua alasan. Pertama, pelanggaran POCO ini tidak dapat tertangkap dan dibatasinya kekuasaan penangkapan, pencarian dan penyelidikan polisi sebagai waran yang diperlukan sebelum penangkapan dapat dilakukan. Alasan kedua ketidakefektifan POCO adalah bahwa hukuman penjara selama dua tahun dan/atau denda SGD 10.000 bagi mereka yang terbukti bersalah korupsi tidak menghalangi perilaku korup. Cacat dari POCO ini hanya diperbaiki sembilan tahun kemudian ketika itu diubah pada tahun 1946 untuk meningkatkan hukuman hukuman penjara tiga tahun, sehingga membuat pelanggaran korupsi lebih mudah tertangkap dan secara otomatis memberikan polisi kekuasaan lebih dari penangkapan, pencarian dan investigasi.
Menurut POCO, ACB dalam Criminal Investigation Department (CID) SPF bertanggung jawab untuk mengendalikan korupsi di Singapura. Namun, ACB itu tidak efektif karena tiga alasan. Pertama, ACB adalah unit kecil yang terdiri dari 17 personel dan jelas tidak memadai dalam melaksanakan tugas sulit memberantas korupsi di SCS dan SPF. Karena CID terutama berkaitan dengan deteksi dan memecahkan kejahatan berat seperti pembunuhan dan penculikan, tugas kontrol korupsi diberikan prioritas yang lebih rendah. Ini berarti bahwa ACB harus bersaing dengan cabang lain dari CID untuk personil yang terbatas dan sumber daya lainnya.
Alasan kedua untuk ketidakefektifan ACB adalah bahwa itu bukan lembaga khusus karena CID itu dibebani dengan banyak prioritas, dan fungsi kontrol korupsi hanya satu dari 16 tugas Asisten Komisaris CID pada bulan Mei 1952. Terlepas dari memberantas korupsi, ia juga bertanggung jawab untuk tugas ini: perkumpulan rahasia; promotor perjudian; penipuan (kejahatan komersial); pegadaian; dealer kedua tangan; narkotika (pedagang); catatan kriminal; pembuangan; naturalisasi; orang hilang; sidik jari; fotografi; Lembaran polisi; dan penangkapan rumah ke rumah dan jalan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa pemberantasan korupsi tidak menjadi prioritas utama CID, terutama ketika polisi yang korup sendiri.
Alasan terakhir dan yang paling penting untuk ketidakefektifan ACB adalah meratanya korupsi polisi. Pada tahun 1950, Komisaris Polisi, JP Pennefather-Evans, membenarkan adanya korupsi polisi yang luas didokumentasikan oleh 1879 dan 1886 Komisi Penyelidikan, dan melaporkan bahwa korupsi marak di departemen pemerintahan di Singapura. Beberapa hari kemudian, Kepala ACB mengakui bahwa masalah korupsi "semakin buruk." Mrs Elizabeth Choy, anggota Dewan Legislatif Kedua, mengkritik pemerintah kolonial Inggris "lemah dan lemah upaya" untuk memerangi korupsi di Singapura . Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah untuk melaksanakan tanpa penundaan usulan ACB untuk amandemen POCO dan meningkatkan personil ACB dan memisahkannya dari SPF.
Korupsi polisi merajalela di Singapura selama periode kolonial Inggris terutama karena gaji rendah dari polisi junior lokal, yang gaji bulanan berkisar antara SGD 4 untuk prajurit infanteri kelas kedua untuk SGD 15 untuk sersan. Kedua, kondisi kerja yang buruk dari polisi setempat juga memberikan kontribusi terhadap korupsi polisi karena mereka tidak diberi seragam gratis, jatah atau akomodasi, yang membuat hidup lebih sulit bagi mereka untuk mengatasi meningkatnya biaya hidup. Ketiga, yang kurang dibayar, polisi setempat mengambil keuntungan dari kesempatan yang cukup untuk korupsi dengan menerima suap dari pemilik rumah judi, atau mengambil pekerjaan kedua untuk menambah gaji yang minim mereka meskipun mereka tidak diizinkan secara hukum untuk melakukannya. Dengan kata lain, korupsi polisi tersebar luas karena rendahnya gaji polisi junior, kondisi yang tidak menguntungkan mereka bekerja, dan kurangnya kontrol atas mereka di daerah rawan korupsi.
Namun, korupsi di Singapura kolonial tidak terbatas pada SPF, tapi tersebar luas di seluruh birokrasi publik. Memang, selain dari SPF, instansi pemerintah lain seperti departemen bea cukai, imigrasi dan pendapatan internal, memiliki lebih banyak kesempatan untuk korupsi dari badan-badan publik yang memiliki kontak terbatas dengan anggota masyarakat, mengeluarkan izin atau tidak mengeluarkan izin, atau biaya yang dikumpulkan atau pajak. Alasan penting untuk kegagalan Singapore Improvement Trust dalam menyediakan perumahan rakyat murah adalah korupsi pejabat asing senior dan perwira muda lokal di prosedur kontrak, perencanaan dan pengembangan kontrol, dan alokasi unit rumah. Singkatnya, korupsi adalah hal yang umum di departemen-departemen pemerintah yang bersangkutan dengan pemberian lisensi, "pengendali harga dan makanan, perlindungan yang terhubung dengan penyelundupan emas batangan dan opium, dan perjudian".
3.1.2. Korupsi selama pendudukan Jepang dan Periode Pasca Perang
Masalah korupsi memburuk selama pendudukan Jepang dari bulan Februari 1942 sampai Agustus 1945 karena inflasi merajalela membuat hidup PNS sulit karena gaji mereka rendah. Rendahnya nilai mata uang militer Jepang memaksa banyak pegawai negeri untuk menambah pendapatan mereka dengan menerima suap atau melakukan bisnis di garis samping untuk mencegah keluarganya dari kelaparan. Ibu terpaksa menjual perhiasan mereka di pasar gelap untuk memberi makan anak-anak mereka. Perdagangan di pasar gelap menjadi jalan hidup karena "kekurangan menciptakan pasar gelap dan budaya pencurian untuk bahan bakar pasar". Pasar gelap penting bagi banyak orang karena "memungkinkan mereka untuk bertindak sebagai broker antara pembeli dan penjual dan mendapatkan komisi dari setiap transaksi untuk menambah penghasilan mereka".
Pada bulan Desember 1942, pemerintahan militer Jepang memperkenalkan sistem Kumiai pengelompokan pemasok komoditas ke monopoli distribusi untuk mencegah pencatutan dan inflasi dengan menjaga semua saham dan mengendalikan distribusi mereka. Namun, dalam praktiknya, Kumiai yang memperburuk situasi karena "situasi monopoli mendorong pengusaha yang tidak bermoral untuk beralih ke penyuapan dan metode lain untuk mendapatkan pasokan". Sistem Kumiai itu "sangat disalahgunakan" karena "anggotanya terlibat dalam kegiatan pasar gelap di bawah jubah otoritas pemerintah dan menipu masyarakat". Kekurangan pangan juga mengakibatkan pencurian luas dan pencurian karena "banyak pekerja merebut kesempatan untuk mencuri sesuatu dari tempat kerja mereka untuk memenuhi kebutuhan".
Pendudukan Jepang menumbuhkan korupsi dalam masyarakat Singapura karena praktik "suap dan pemerasan tumbuh dari kekerasan dan ketakutan" yang digunakan Jepang dalam memerintah wilayah pendudukan mereka. Lee Geok Boi berpendapat bahwa "suap manjur" selama pendudukan Jepang karena:
Dari jenderal untuk prajurit biasa, hadiah dan uang memuluskan jalan. Tidak ada transparansi dan semuanya tentang koneksi dan hadiah. Tidak ada yang mustahil dengan koneksi yang tepat. ... Semua orang—termasuk orang Jepang—melakukan pasar gelap. Budaya Pendudukan Jepang mengeluarkan naluri bertahan hidup dasar pada orang dan menghasilkan sebuah masyarakat di mana segala macam kejahatan bisa dibenarkan karena itu semua tentang hidup. ... Ini akan menghabiskan bertahun-tahun untuk memberantas korupsi dan mengatasi kejahatan sosial bahwa pendudukan militer Jepang menumbuhkembangkan korup di Singapura.
Demikian pula, Turnbull berpendapat bahwa warisan terburuk pendudukan Jepang adalah "korupsi integritas publik dan swasta" karena "sarang berkembang perjudian dan pelacuran, baik disahkan oleh Jepang, kebangkitan merokok opium, pencatutan universal dan suap. "
Kondisi di Singapura memburuk selama periode pasca perang, dan korupsi menyebar di antara PNS sebagai akibat dari upah yang rendah, inflasi, dan pengawasan tidak memadai oleh perwira atasan mereka, sehingga memberi mereka banyak kesempatan untuk korupsi dengan probabilitas tertangkap yang rendah. Korupsi adalah cara hidup bagi banyak orang dan British Military Administration (BMA), yang mengambil alih setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945, digambarkan sebagai "Black Market Administration" karena permintaan sewenang-wenang atas milik pribadi, mis-manajemen distribusi beras, inefisiensi keuangan, dan "korupsi yang penuh skandal".
Pada tahun 1950, "suap menyuap adalah bagian dari cara hidup" di Singapura karena "orang harus mengotori tangan untuk mendapatkan lisensi, izin, dokumen imigrasi, perumahan umum dan tempat-tempat didambakan di sekolah-sekolah." Lee Kip Lin, seorang pensiunan arsitek, menggambarkan pemerintahan Lim Yew Hock sebagai "korup dari kepala sampai kaki." Singapura itu digambarkan sebagai "surga wartawan" dan "resep Marxis untuk revolusi" karena menderita "kerusuhan, pemogokan, piket, protes, demonstrasi, kemelaratan, kemiskinan, pengangguran, korupsi, kebiasaan buruk, kejahatan, kebakaran, banjir, penyakit”.
Pada bulan Oktober 1951, £ 1.800 dari opium senilai SGD 400.000 (USD 133.333) yang dicuri di Ponggol oleh sekelompok perampok, yang termasuk tiga detektif polisi. Pemerintah kolonial Inggris menunjuk tim khusus yang dipimpin oleh seorang perwira ACB senior untuk menyelidiki perampokan. Penyelidikan mengungkap bahwa beberapa perwira senior polisi terlibat dalam kerusuhan dengan kedua pembajak dan importir dari opium. Pada bulan April 1952, pemerintah kolonial Inggris membentuk tim investigasi khusus lain untuk mencari tahu apa yang salah dengan penyelidikan sebelumnya yang dilakukan oleh ACB. Ketika tim khusus menyelesaikan penyelidikan pada bulan September 1952, pemerintah kolonial Inggris memutuskan untuk mengganti ACB dengan tim khusus, yang menjadi CPIB.
Dengan demikian, skandal Pembajakan Opium Oktober 1951 adalah mekanisme yang memicu kelahiran CPIB. Selain itu, harus dicatat bahwa skandal itu juga membuat pemerintah kolonial Inggris menyadari bahwa mereka telah melakukan kesalahan kebijakan yang serius pada bulan Desember 1937, ketika ACB itu dipercayakan dengan tugas pemberantasan korupsi meskipun korupsi polisi merajalela di Singapura.
3.1.3. Korupsi Modern di Singapura
Semenjak lahirnya CPIB, Singapura adalah salah satu negara paling tidak korup di bumi. Menurut Transparency International (TI) 2013 "Indeks Persepsi Korupsi," Singapura peringkat sebagai 5th dunia bangsa paling tidak korup. Tetapi dari statistik tahun 2010/2011, 38% dari responden mengatakan korupsi meningkat.
3.1.3.1 Edwin Yeo - Kepala Bidang Penelitian dan Dukungan Teknis untuk Biro Investigasi Praktik Korupsi (CPIB)
Kejahatan: Mencuri $ 1.760.000 dana pemerintah
Hukuman: 10 tahun di Penjara Changi
Penjara Nickname: "Gamble Man"
Anda akan berpikir bahwa PNS yang paling tidak korup di Singapura akan ditempatkan di Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB). Karena CPIB ini adalah lembaga yang bertanggung jawab untuk memberantas korupsi. Itu sampai Edwin Yeo bergabung biro. Selama 15 tahun, Edwin menjabat biro, akhirnya menjadi Kepala Bidang Penelitian dan Dukungan Teknis. Kemudian pada tahun 2008, ia dari mendukung CPIB dalam penyelidikan berubah menjadi salah satu targetnya.
Apa yang ditemukan CPIB sangat mengejutkan. Antara 2008 dan 2013, Edwin mencuri 1.760.000 dolar dari rekening bank CPIB. Yang lebih mengejutkan lagi adalah apa yang ia lakukan dengan uang itu - ia habiskan dengan berjudi di Marina Bay Sands! Setelah diadili dengan 21 tuduhan, dia sekarang dihukum 10 tahun di Penjara Changi.
3.1.3.2. Lim Cheng Hoe - Kepala Protokol Kementerian Luar Negeri (MFA)
Kejahatan: Mencurangi pemerintah sebesar SGD 89.000 dengan menggembungkan harga Tart nanas dan anggur yang dibeli sebagai hadiah untuk delegasi asing
Hukuman: 15 bulan di Penjara Changi
Penjara Nickname: "Pineapple Express"
Lim Cheng Hoe hanya PNS biasa yang bekerja di Departemen Luar Negeri (MFA). Sebagai Protokol Kepala MFA, tugasnya adalah mengatur dan mengawasi pelaksanaan delegasi Singapura di luar negeri dan delegasi asing yang mengunjungi negara.
Bagian dari pekerjaannya termasuk membeli hadiah untuk delegasi asing yang mengunjungi Singapura. Hadiah pilihannya adalah Tart nanas dan anggur. Namun, Lim agak tidak yakin dengan jumlah kotak kue tar nanas dan botol anggur yang dibelinya.
Dia membeli 2.226 kotak kue tar nanas, tetapi melaporkan jumlahnya menjadi 10.075 kotak! Matematikanya tidak lebih baik dengan pembelian anggur, karena ia membeli 89 botol dan mengubah jumlahnya menjadi 248. Dia dituntut dengan 10 tuduhan penipuan dan dijatuhi hukuman 15 bulan di Penjara Changi.
3.1.3.3. Peter Lim - Panglima Tentara Pertahanan Sipil Singapura (CDF)
Kejahatan: Memihak tender yang berkaitan dengan IT milik pemerintah pada perusahaan tertentu dengan balasan kenikmatan seksual
Hukuman: 6 bulan di Penjara Changi
Penjara Nickname: "Most Favored Inmate"
Sebagai kepala Sipil Angkatan Pertahanan Singapura (CDF), Peter Lim memiliki banyak tanggung jawab, termasuk persetujuan tender CDF. Pada tender pemerintah, pemenang biasanya dinilai berdasarkan harga, track record, dan pengalaman.
Namun, itu cara Peter dalam memilih pemenang tender membuatnya bermasalah dengan hukum. Dia memilih pemenang tender berdasarkan pada "pengalaman” yang berbeda, karena ia memenangkan tender perusahaan dengan balasan kenikmatan seksual dari setidaknya tiga eksekutif perempuan perusahaan tersebut.
Peter awalnya didakwa dengan 10 tuduhan korupsi, namun akhirnya diadili dan dihukum atas satu hitungan untuk memperoleh nikmat seksual dari Ms Pang Chor Mui, mantan GM Nimrod Engineering. Dia dijatuhi hukuman enam bulan di Penjara Changi.
3.1.3.4. Bernard Lim Yong Soon - Asisten Direktur National Parks Board (NParks)
Kejahatan: Memberikan informasi palsu untuk pegawai negeri dan mendorong temannya untuk berbohong kepada penyidik korupsi selama "Brompton Bicycle Saga"
Hukuman: Sampai dengan 1 tahun di Penjara Changi, SGD 5.000 denda, atau keduanya
Penjara Nickname: "Easy Rider"
Asisten Direktur untuk Dewan Taman Nasional (NParks), Bernard Lim, bertanggung jawab untuk mengawasi tender untuk sepeda baru untuk staf NParks. Bernard tidak berpikir bahwa hal yang penting bagi setiap orang untuk mengetahui bahwa direktur perusahaan pemenang tender tersebut kebetulan teman dekatnya.
Tentu saja, setelah masyarakat mengetahui tentang pembelian sepeda, pertanyaan mulai ditanyakan oleh CPIB. Dia berbohong tentang persahabatannya dengan direktur perusahaan, dan kemudian memintanya untuk berbohong kepada penyidik. Dia saat ini sedang diadili.
3.1.3.5. Tey Tsun Tunggu - National University of Singapore (NUS) Profesor Hukum
Kejahatan: Menerima beberapa hadiah dan kenikmatan seksual dari seorang siswa sebagai balasan untuk meluluskannya
Hukuman: 5 bulan di Penjara Changi dan denda sebesar SGD 514,80
Penjara Nickname: "The Hard Grader"
Sebagian besar dari orang normal takut meyogok dosen. Alih-alih diluluskan, tapi dikeluarkan dari kampus. Namun berbeda dengan mantan mahasiswa NUS Darinne Ko yang mendesak mantan profesor hukum Tey Tsun Hang untuk memberi nilai ‘baik’ yang akhirnya ia setujui setelah menerima pena Mont Blanc, kemeja yang dibuat khusus, Apple iPod, dan seks.
Tak perlu dikatakan, Ms. Ko itu dinilai baik oleh Tey Tsun Hang, dan lulus dari NUS. Sayangnya untuk Tey, tindakannya akhirnya terungkap. Dia menjalani hukuman lima bulan di Penjara Changi. Ia juga kemudian dipecat.
Yang mencengangkan adalah bahwa banyak kasus korupsi ini malah tidak melibatkan PNS tingkat rendah, tapi orang-orang di atau dekat bagian atas instansi pemerintah masing-masing
3.2. Langkah Pemberantasan
3.2.1. Sejarah Pemberantasan Korupsi di Singapura
Korupsi merupakan sebuah kejahatan luar biasa yang ada di hampir seluruh pemerintahan di dunia. Korupsi harus diberantas agar sebuah negara dapat membentuk pemerintahan yang bersih dan efektif. Salah satu negara yang dapat dikatakan berhasil memberantas korupsi adalah Singapura. Pemberantasan korupsi di Singapura memiliki sejarah yang panjang sebelum akhirnya bisa berprestasi dari segi pemberantasan korupsi seperti saat ini.
Upaya pemberantasan korupsi di Singapura, dimulai dari pembentukan suatu badan khusus pemberantasan korupsi yang diambil dari institusi kepolisian dalam rangka memberantas praktik-praktik korupsi yang terjadi di lingkaran birokrasi Singapura pada masa itu. Badan tersebut diberi nama Anti-Corruption Branch. Namun, badan khusus ini tidak berhasil melakukan pemberantasan korupsi dikarenakan terbatasnya kewenangan yang dimiliki dan adanya konflik kepentingan saat penyidik harus memeriksa rekan mereka dari kepolisian. Selain itu, tertangkapnya pejabat senior kepolisian tersebut lantaran terbukti menerima suap dari pedagang opium membuat hilangnya kepercayaan terhadap badan khusus dari kepolisian ini dalam memberantas korupsi di Singapura. Badan khusus tersebut menjadi cikal bakal dibentuknya sebuah lembaga independen dalam rangka pemberantasan korupsi di Singapura, yakni Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
Gerakan-gerakan pemberantasan korupsi ini kemudian menguat begitu People's Action Party di bawah pimpinan Lee Kwan Yew, Perdana Menteri Sigapura pertama yang berkuasa pada tahun 1959. Lee Kwan Yew memproklamasikan “perang terhadap korupsi”. Dengan tegas Lee Kwan Yew menegaskan bahwa ”no one, not even top government officials are immuned from investigation and punishment for corruption” (Tidak seorang pun, meskipun pejabat tinggi negara yang kebal dari penyelidikan dan hukuman dari tindak korupsi). Tekad Lee Kwan Yew ini didukung dengan disahkannya Undang-Undang Pencegahan Korupsi (The Prevention of Corruption Act/PCA) yang diperbaharui pada tahun 1989 dengan nama The Corruption (Confiscation of Benefit) Act. Undang-undang ini yang kemudian menjadi dasar dibentuknya lembaga anti korupsi yang independen di negara tersebut, yang diberi nama “The Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB)”.
Faktor yang mendorong keberhasilan pemberantasan korupsi di Singapura yaitu adanya political will dari pemerintah, dukungan masyarakat, serta adanya orang nomor satu di negara tersebut. Lee Kwan Yew dikenal sebagai sosok bersih, berkarakter kuat, memiliki kekuasaan yang besar. Baginya, Singapura tidak pernah akan jaya dan disegani di seluruh dunia jika negara ini masih diliputi korupsi. Dengan komitmen dan political will yang kuat dari seorang Lee Kwan Yew, CPIB menjadi sebuah lembaga pemberantasan korupsi yang disegani di Singapura. CPIB diberikan kewenangan seluas-luasnya untuk menggunakan semua otoritas dalam memberantas korupsi, dan didukung publik.
Pemberantasan korupsi di Singapura dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Praktik-praktik korupsi di birokrasi dari tahun ke tahun semakin berkurang, karena masyarakat dan pemerintahannya memiliki tekad yang kuat untuk membangun negara yang bersih dari segala macam bentuk penyelewengan uang negara. Masyarakat berperan aktif dalam mengamati segala sesuatu yang mencurigakan, dan kemudian melaporkan jika ada indikasi penyelewengan, termasuk para pejabat negara yang kehidupannya di luar kewajaran. Pemerintah Singapura mempunyai visi yang jelas dalam pemberantasan korupsi.
3.2.2. Lembaga Pemberantasan Korupsi Singapura
3.2.2.1. Pembentukan The Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB)
CIPB merupakan suatu badan independen yang menginvestigasi dan bertanggung jawab dalam pencegahan korupsi pada sektor publik dan swasta di Singapura. CPIB didirikan pada tahun 1952 berdasarkan mandat kewenangan investigasi yang temaktub dalam Prevention of Corruption Act (Chapter 241), sebagai sebuah organisasi yang terpisah dari polisi, bertugas untuk menginvestigasi seluruh kasus korupsi sebagai sebuah lembaga yang independen. Badan ini dikepalai oleh seorang direktur yang secara langsung bertanggung jawab kepada Perdana Menteri.
CPIB bertanggung jawab dalam menjaga integritas pelayanan publik dan mendorong transaksi bebas korupsi di sektor swasta. Badan ini juga diberi tanggung jawab dalam memeriksa penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat publik dan melaporkan kasus tersebut kepada departemen pemerintah yang tepat dan badan-badan publik untuk tindakan indisipliner. Meskipun memiliki fungsi utama sebagai badan yang menyelidiki korupsi berdasarkan The Prevention of Corruption Act, CPIB juga diberdayakan untuk menyelidiki setiap pelanggaran sejenis lainnya berdasarkan hukum tertulis yang diungkapkan dalam rangka penyelidikan korupsi.
CPIB juga melakukan pencegahan korupsi dengan meninjau metode kerja dan prosedur departemen rawan korupsi dan badan-badan publik untuk mengidentifikasi kelemahan administratif sistem berjalan yang dapat memfasilitasi korupsi dan penyimpangan, dan kemudian merekomendasikan langkah-langkah perbaikan dan pencegahan untuk kepala departemen bersangkutan. Dalam kegiatan pencegahan juga, petugas CPIB secara rutin mengadakan seminar untuk mendidik pejabat publik, terutama mereka yang berhadapan langsung dengan masyarakat, dan lingkungan yang rawan terhadap perangkap korupsi.
Misi CPIB adalah untuk memerangi korupsi secara cepat dan tepat, aksi tegas namun adil. Sedangkan visi dari CPIB adalah menjadi sebuah lembaga anti korupsi terkemuka yang menjunjung tinggi integritas dan tata pemerintahan yang baik untuk mencapai bangsa bebas korupsi. Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, CPIB memiliki fungsi untuk:
• menerima dan menyelidiki keluhan terkait dugaan praktek korupsi;
• menyelidiki malpraktik dan kesalahan oleh pejabat publik dengan indikasi korupsi;
• mencegah korupsi dengan memeriksa praktik dan prosedur dalam pelayanan publik untuk meminimalkan peluang bagi praktik korupsi.
Lembaga ini juga mempunyai kode etik yang menjadi pedoman dalam setiap proses pemberantasan tindak korupsi. Adapun kode etik CBIP antara lain:
a. Kami akan setia kepada biro (lembaga) dan menegakkan reputasinya.
b. Kami akan melaksanakan tugas tanpa rasa takut.
c. Kami akan menyelidiki kasus dengan cermat dan tepat serta menampilkan kerjasama tim dan keuletan.
d. Kami akan mendiskualifikasi diri dari kasus-kasus investigasi yang mungkin menimbulkan keraguan terhadap kenetralan kami.
e. Kami tidak akan mendiskusikan hal-hal resmi dengan setiap orang, kecuali jika diperlukan.
f. Kami tidak akan mengungkapkan identitas informan apapun.
3.2.2.2. Struktur Organisasi CPIB
CPIB mempunyai dua macam divisi yaitu:
1) Divisi Operasi. Menjalankan fungsi utama menyelidiki pelanggaran di bawah Undang-Undang Pencegahan Korupsi. Terdiri dari empat unit penyelidikan, salah satunya adalah elit Khusus Tim Investigasi (SIT) yang menangani kasus-kasus yang lebih kompleks dan besar.
2) Divisi Admin & Spesialis Dukungan. Yang terdiri dari beberapa unit yaitu:
a. Unit administrasi. Bertanggung jawab untuk mendukung proses investigasi termasuk registrasi, keuangan, dan masalah personal.
b. Unit pencegahan dan reviu. Bertugas menganalisis prosedur kerja dari lembaga pemerintah untuk mengidentifikasi kelemahan administratif yang bisa menimbulkan korupsi.
c. Unit sistem informasi dan komputerisasi. Membawahi proyek komputerisasi dan membangun sistem aplikasi untuk mengatur keefektifan divisi operasi.
d. Unit proyek dan perencanaan. Membawahi segala staf yang bekerja untuk membuat perencanaan proyek, operasi dan kebijakan.
3.2.2.3. Hubungan CPIB dengan Pemerintah
Meskipun CPIB dikatakan sebagai suatu organisasi yang bebas, namun bukan berarti tidak ada campur tangan pemerintah dalam menjalankan aktivitasnya. Salah satu bentuk campur tangan yang dilakukan oleh pemerintah adalah dalam hal kepemimpinan CPIB. Berdasarkan PCA, presiden memiliki wewenang untuk menunjuk direktur atau pemimpin tertinggi dari CPIB. Selain itu presiden juga berhak menunjuk deputi direktur serta asisten direktur dan investigator istimewa yang menurut presiden layak untuk menempati jabatan tersebut.
Meskipun presiden memiliki kewenangan untuk menunjuk orang-orang yang nantinya akan menduduki jabatan penting di CPIB, presiden tidak mempunyai hak untuk ikut campur dalam hal pemberantasan korupsi. Dalam hal pemberantasan korupsi, tidak ada seorang atau satu badan yang berhak mengendalikan badan ini. Kendali presiden hanya terbatas pada penunjukan orang-orang yang menempati jabatan di yang telah disebutkan di atas. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga CPIB agar tetap dapat berjalan searah dengan pemerintah.
Investigator yang ditunjuk oleh presiden ini memiliki “sertifikat penunjukan” atau semacam kartu garansi yang digunakan oleh penegak hukum lokal untuk melakukan tugasnya. Kartu garansi ini berupa kekuasaan untuk melakukan investigasi berupa:
• Kekuasaan untuk menahan seseorang yang dicurigai sebagai koruptor tanpa membawa surat perintah penahanan (berdasarkan pasal 15PCA)
• Kekuasaan melakukan penyidikan (berdasarkan pasal 17 PCA)
• Kekuasaan untuk mencari, yaitu kekuasaan untuk memasuki segala tempat dengan kekerasan apabila dibutuhkan untuk mencari tersangka pelaku korupsi.
3.2.3. Strategi Pemberantasan Korupsi di Singapura
Upaya pemberantasan korupsi di Singapura meliputi upaya preventif atau pencegahan dan upaya represif atau pemberantasan. Setelah berdirinya CPIB pada tahun 1952 dan diundangkannya Prevention Corruption of Act (PCA) pada tahun 1960, Singapura sangat represif dalam tindakan melawan korupsi. PCA berfokus pada upaya mengurangi terjadinya korupsi dan memperberat sanksi yang dikenakan bagi pelaku korupsi. Melalui PCA, CPIB mempunyai kewenangan yang luas dalam menindak perbuatan korupsi.
Strategi yang ditempuh Singapura dalam memberantas korupsi disebut sebagai pilar strategi anti korupsi, memiliki empat fokus utama yaitu:
a. Effective Anti-Corruption Agency
b. Effective Acts (or Laws)
c. Effective Adjudication
d. Efficient Administration
Keempat pilar di atas dilandasi oleh “strong political will against corruption” dari pemerintah. Adanya komitmen politik pemerintah yang tinggi dalam memberantas korupsi adalah faktor utama dan terpenting dari keberhasilan Singapura dalam memberantas korupsi.
Menurut Azra dalam bukunya Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi (2006:202), ada tiga hal yang dapat dijadikan pelajaran bagi bangsa Indonesia dari keberhasilan negara Singapura dalam memberantas korupsi:
1. Singapura mempunyai Undang-undang Pencegahan Korupsi yang efektif.
Dalam pelaksanaannya ada law enforcement dan pemberian sanksi yang lebih berat terhadap pelaku korupsi. Adanya perangkat undang-undang anti korupsi yang efektif dapat memberikan jaminan yang memadai atas kepastian hukum dan keadilan yang lebih objektif. Undang-undang anti korupsi ini terus mengalami amandemen, disesuaikan dengan dinamika lingkungan internal dan eksternal agar pemberantasan korupsi dapat efektif.
2. Adanya badan pencegah korupsi yang efektif.
Singapura mempunyai CPIB yang mandiri secara politis serta mempunyai kewenangan yang besar untuk menghukum para koruptor, mulai dari kelas teri sampai kelas kakap. CPIB mempunyai kewenangan dalam melakukan investigasi terhadap praktik korupsi, baik di sektor publik maupun swasta. Praktik-praktik korupsi di sektor swasta pada umumnya melibatkan pembayaran atau penerimaan komisi secara ilegal.
3. Adanya sistem di mana kekayaan masyarakat dapat diakses oleh CPIB sehingga kekayaan masyarakat dapat dimonitor dari waktu ke waktu.
Selain itu, adanya komitmen yang kuat dari pemimpin politik Indonesia juga merupakan faktor utama dalam keberhasilan pemberantasan korupsi jika ingin berhasil seperti Singapura. Adanya political will dan political action dari pimpinan politik (presiden, kabinet dan anggota parlemen) serta peran serta masyarakat merupakan prasyarat yang paling penting untuk kesuksesan strategi pemberantasan korupsi. Undang-undang anti korupsi dan badan khusus anti korupsi tidaklah cukup menjamin efektivitas pemberantasan korupsi
3.3. Pencegahan Korupsi
Selain melakukan pemberantasan korupsi, CPIB juga memiliki tugas untuk melakukan pencegahan korupsi. Berdasarkan penelitian Klitgaard, langkah-langkah strategis dalam pencegahan korupsi yang dilakukan CPIB antara lain:
1. Mengubah konsep imbalan dan hukuman
Di Singapura, pemberian imbalan dalam bentuk surat pujian serta masa depan kenaikan pangkat dan gaji yang baik diberikan kepada mereka yang menolak suap. Sedangkan bentuk hukuman yang diberikan adalah dalam sanksi administrative yang depat mempengaruhi masa depan dan karir.
2. Mengumpulkan informasi
CPIB senantiasa mengumpulkan informasi yang mendukung sebelum melakukan investigasi terhadap aparat yang terduga korup.
3. Menyusun kembali hubungan atasan-pegawai-klien
Dalam waktu tertentu diadakan restrukturisasi dalam departemen atau organisasi, yaitu dengan memindahkan karyawan atau atasan dari satu tempat kerja atau divisi ke tempat lain.
4. Mengubah sikap terhadap korupsi
CPIB aktif memberikan pesan-pesan moral kepada perusahaan, organisasi, dan masyarakat umum untuk menghindari tindak korupsi.
Pada kegiatan pencegahan CPIB telah merumuskan dan menerapkan beberapa kebijakan, antara lain :
1. Melakukan review dan perbaikan atas SOP dalam pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah.
2. Mewajibkan kepada setiap PNS untuk menerbitkan pernyataan bebas dari masalah hutang.
3. Mewajibkan kepada setiap PNS untuk melaporkan kepemilikan aset dan investasi.
4. Pelarangan untuk menerima segala bentuk hadiah.
5. Melakukan kerjasama dengan pihak pemeriksa keuangan pemerintah dalam rangka evaluasi pengendalian internal yang ada maupun melakukan deteksi atas kemungkinan fraud yang terjadi.
Selain adanya struktur yang baik, pencegahan korupsi di Singapura meliputi berbagai faktor sebagai berikut:
1. Adanya political will yang tinggi dari pemerintah Singapura untuk memberantas korupsi
Political will ini terutama ditunjukkan oleh Lee Kuan Yew, Perdana Mentri Singapura melalui pidatonya yang terkenal pada tahun 1979 dan Minister for Home Affairs, Ong Pang Boon sebagaimana yang dikatakannya di depan Legislative Assembly. Political will yang besar ini kemudian ditunjukkan melalui pembentukan CPIB.
Komitmen politik pemerintah yang tinggi dalam memberantas korupsi adalah faktor utama dan terpenting dari keberhasilan Singapura untuk mencegah dan meredam korupsi. Salah satu cara untuk memancing kuatnya political will tersebut adalah dengan memberikan gaji yang besar kepada para pemegang jabatan
2. Kuatnya hukum terutama peraturan mengenai anti korupsi
Berbagai peraturan ini mengatur mengenai:
a. memperkuat fungsi pengadilan
b. memperkuat para investigator dengan berbagai kekuasaan yang dapat mendukung pelaksanaan tugasnya
c. memberi kekuasaan pada para prosecutor public untuk mendapatkan informasi dari berbagai pihak
d. memberi pengertian pada masyarakat mengenai tugas dan fungsi CPIB sehingga masyarakat dapat memberi dukungan terhadap tugas dan fungsi dari lembaga ini
3. Adanya hukuman yang berat bagi para koruptor
Seseorang yang terbukti melakukan korupsi dapat dikenai hukuman hingga $100,000 atau hukuman penjara selama 5 tahun. Apabila koruptor tersebut berasal dari sektor publik yang artinya ia akan merugikan Negara dengan korupsinya maka hukuman bisa dinaikkan hingga 7 tahun
4. Adanya pendidikan anti-korupsi
Pemerintah Singapura menyadari bahwa sikap anti-korupsi harus ditanamkan semenjak dini. Oleh sebab itu CPIB sebagai lembaga pemberantas korupsi melakukan Learning Journey Briefing bagi siswa-siswi sekolah menengah pertama di Singapura.
5. Adanya analisis mengenai metode kerja
Sebagaimana telah disampaikan di atas, CPIB memiliki wewenang untuk menganalisis metode kerja dan prosedur suatu lemabaga untuk meminimalkan tingkat korupsi.
6. Adanya deklarasi asset dan investasi
Setiap aparat publik harus memberitahukan, saat dia diangkat dan setiap tahunnya, mengenai daftar kekayaan dan investasi yang dimilikinya termasuk jumlah tanggungan yang dimilikinya. Nantinya apabila aparat tersebut mendapatkan kekayaan lebih dari yang seharusnya bisa didapat dari gaji yang diterimanya maka dia akan ditanyai mengenai bagaimana cara ia mendapatkan kekayaannya tersebut.
7. Larangan menerima hadiah
Aparat publik tidak diperbolehkan untuk menerima segala bentuk hadiah dalam bentuk uang ataupun bentuk lainya dari orang yang memiliki kepentingan terhadap pekerjaan aparat tersebut karena dikhawatirkan akan terjadi penyuapan. Menurut PCA, segala sesuatu yang dimaksud dengan penyuapan adalah:
Uang atau hadiah, pinjaman, bayaran, penghargaan, jabatan, barang berharga, barang atau bunga dari suatu barang dengan berbagai definisi yang dapat dipindahkan ataupun tidak dapat dipindahkan.
Kantor, jabatan atau perjanjian kerja
Pembayaran, pembebasan hutang, likuidasi hutang, obligasi atau pinjaman apapun baik seluruh ataupun sebagian
Jasa-jasa lainnya, keuntungan dengan berbagai definisi, termasuk perlindungan dari berbagai hukuman yang menggunakan kekuasaan ofisial
Berbagai aksi atau gratifikasi yang terkait dengan berbagai hal yang telah disebutkan sebelumnya
8. Adanya dukungan yang kuat dari seluruh lapisan masyarakat.
Masyarakat Singapura menyuarakan pemberantasan korupsi secara berkesinambungan, mendorong pemerintah untuk membangun negara yang bersih dari segala macam bentuk penyelewengan uang negara. Masyarakat berpartisipasi mengamati dan melaporkan jika ada indikasi penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabat negara.
3.4. Hasil Pemberantasan Korupsi
CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau) sangat disegani karena cara kerja, integritas, dan tekad pengelolanya untuk memberantas korupsi. Keberhasilan Singapura dalam pemberantasan korupsi tentu tidak dapat terlepas dari peran Perdana Menteri Lee Kuan Yew yang telah menyerukan tekad melawan praktik korupsi pada masa pemerintahannya.
Pemberantasan korupsi di Singapura dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Selain itu, masyarakat berperan aktif mengamati segala sesuatu yang mencurigakan, dan kemudian melaporkan jika ada indikasi penyelewengan, termasuk para pejabat negara yang kehidupannya di luar kewajaran. Hal ini berhasil menjadikan Singapura sebagai salah satu negara yang paling bersih dari korupsi.
Selain adanya struktur yang baik, keberhasilan pemberantasan korupsi di Singapura juga didukung oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Adanya tekad politik yang tinggi dari pemerintah Singapura untuk memberantas korupsi;
2. Kuatnya hukum dan peraturan terkait pemberantasan korupsi;
3. Adanya hukuman yang berat bagi koruptor;
4. Adanya pendidikan antikorupsi;
5. Adanya analisis metode kerja;
6. Adanya deklarasi aset dan investasi;
7. Tersedianya akses informasi kekayaan warga Singapura;
8. Ditegakkannya larangan menerima hadiah;
9. Warga dan pemerintah Singapura yang terbiasa tertib dan taat peraturan.
Hasil yang didapat tentunya memuaskan. Dengan adanya upaya pencegahan korupsi:
1. Singapura menjadi menduduki peringkat kelima dunia negara terbersih dari korupsi berdasarkan data Political and Economic Risk Consultancy (PERC).
2. Singapura merupakan negara dengan indeks korupsi yang mengagumkan. Negara ini jauh meninggalkan Indonesia. Indeks persepsi korupsi Singapura saja mencapai angka 9,7 untuk 2012, sedangkan Indonesia hanya pada angka 3.
3. Singapura sebagai salah satu negara dengan tingkat perekonomian yang tinggi,.
4. Singapura memiliki birokrasi yang bersih dan tidak berbelit-belit.
5. Singapura memiliki pendapatan per kapita yang sangat tinggi.
4. KESIMPULANSingapura yang telah mendapatkan peringkat atas di dunia sebagai negara yang bersih dari korupsi memiliki lembaga anti korupsi yang bernama the Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB). CPIB merupakan organisasi yang memiliki wewenang yang sangat luas untuk menggunakan semua otoritas dalam memberantas korupsi. Selain menyelidiki kasus korupsi, CPIB juga memiliki fungsi mencegah terjadinya korupsi
Singapura dapat mencapai kondisi seperti sekarang tidak lepas dari usaha bersama antara seluruh elemen masyarakat dan pemerintah untuk menekan tingkat korupsi. Beberapa faktor yang mendorong terjadinya hal tersebut antara lain: adanya tekad politik yang tinggi dari pemerintah Singapura untuk memberantas korupsi, tegasnya penegakan hukum dan peraturan terkait pemberantasan korupsi serta masyarakat yang terbiasa tertib dan taat peraturan.
Hal tersebut merupakan faktor penentu dalam upaya pemberantasan korupsi di Singapura menjadi lebih efektif. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang harus diberantas secara berkesinambungan. Oleh karena itu, sangat diperlukan kerjasama seluruh lapisan masyarakat bersama pemerintah untuk memberantas korupsi baik di sektor publik maupun swasta