Dalam Slippery Slope Framework Kirchler, Hoelzl, dan Wahl (2008) diungkapkan bahwa terdapat dua dimensi utama yang mempengaruhi kepatuhan perpajakan. Dua dimensi tersebut adalah kepercayaan masyarakat terhadap otoritas pajak dan kewenangan otoritas pajak itu sendiri. Dalam teori ini, diasumsikan kepatuhan perpajakan dapat dicapai melalui peningkatan level kepercayaan masyarakat dan kewenangan otoritas pajak. Interaksi antara perubahan level kepercayaan masyarakat dan kewenangan otoritas pajak juga memberikan hasil yang berbeda di beberapa variasi tingkatan.
Kerangka hubungan antara dimensi kepercayaan, kewenangan, dan kepatuhan perpajakan sendiri digambarkan dalam sebuah grafik tiga dimensi. Dapat dideskripsikan bahwa, ketika kondisi kepercayaan masyarakat rendah dan kewenangan otoritas pajak lemah, maka masyarakat akan cenderung untuk memaksimalkan kesempatan mereka dengan melakukan penghindaran pembayaran pajak, sehingga membawa tingkat kepatuhan perpajakan menjadi rendah
Kondisi kepatuhan berubah ketika terjadi perubahan tingkat kewenangan otoritas pajak ke arah yang lebih tnggi walaupun kepercayaan berada di tingkat yang rendah. Peluang masyarakat untuk menghindari pajak menjadi lebih kecil akibat peningkatan kewenangan, sehingga terjadi peningkatan kepatuhan pajak. Namun, peningkatan kepatuhan ini tidak bersifat sukarela. Tercipta sebuah kepatuhan yang dipaksakan karena peningkatan kewenangan otoritas pajak yang dapat berupa penambahan jumlah pemeriksaan dan sanksi akan membuat masyarakat takut pada konsekuensi hukum ketika melakukan penghindaran pajak. Di sisi lain, pada kondisi ini dapat juga muncul persepsi lain dari masyarakat bahwa peningkatan kewenangan otoritas pajak merupakan sinyal rasa tidak percaya pemerintah. Wajib pajak akan merasa bahwa kerelaannya dalam membayar pajak tidak mendapat apresiasi dari pemerintah. Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan karena seringkali masyarakat yang patuh yang diperiksa sedangkan wajib pajak yang tidak patuh mungkin tidak tersentuh pemeriksaan. Peningkatan kewenangan dirasakan sebagai hal yang tidak adil dan memaksa serta membuat kepercayaan masyarakat mereka terhadap otoritas akan menurun dan menyebabkan turunnya tingkat kepatuhan perpajakan sehingga menimbulkan iklim yang antagonistik.
Berbeda dengan sisi kanan depan sebagaimana dalam model kerangka tiga dimensi, ketika kewenangan otoritas pajak ada pada kondisi rendah, masyarakat akan mengikuti panggilan hati untuk memenuhi kewajiban sipil mereka dengan sukarela membayar pajak. Kepatuhan akan meningkat seiring perubahan kenaikan kepercayaan masyarakat. Berbeda dengan karakteristik perubahan peningkatan kewenangan, peningkatan kepercayaan membangun sebuah iklim yang bersifat sinergis antara otoritas pajak dengan masyarakat.
a. Kepercayaan Masyarakat Terhadap Otoritas Pajak
Kepercayaan masyarakat menurut Kirchler, Hoelzl, dan Wahl (2008) adalah pendapat umum yang dipegang oleh individu dan kelompok sosial bahwa otoritas pajak bersifat baik dan bekerja untuk kebaikan masyarakat banyak. Definisi kepercayaan yang dibangun oleh Kirchler ini berdasarkan konsep kepercayaan sosial yang menurut Tyler (2003). Kepercayaan sosial itu sangat merefleksikan penerimaan individu terhadap suatu otoritas.
Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, terdapat hubungan positif antara kepercayaan masyarakat terhadap kepatuhan perpajakan (Torgler 2003; Torgler dan Schneider 2005). Sebuah penelitian besar yang dilakukan oleh Murphy (2004) juga memberikan dukungan terhadap hasil penelitian Togler. Murphy melakukan analisis terhadap survey pada 2.292 penghindar pajak yang ada di Australia dan menemukan bahwa kepercayaan masyarakat yang tinggi memberikan nilai resistensi yang kecil pada otoritas pajak sehingga memberikan pengaruh pada peningkatan kepatuhan pajak.
Penelitian tersebut juga menekankan fungsi penting kepercayaan masyarakat dalam meningkatkan kepatuhan pajak. Adapun penelitian yang penting lainnya dilakukan oleh Richardson (2008), perbandingan pada 47 (empat puluh tujuh) negara berbeda menunjukan ada hubungan negatif antara kepercayaan pada pemerintah dan penghindaran pajak. Ini memberikan arti bahwa semakin rendah tingkat kepercayaan masyarakat memberikan efek pada tingginya tingkat penghindaran pajak.
Berdasarkan penelitian Kirchler, Hoelzl, dan Wahl (2008), rasa saling percaya antara otoritas pajak dan wajib pajak mengarahkan pada iklim yang sinergis. Dalam iklim sinergis, otoritas pajak percaya bahwa masyarakat membayar pajak mereka dengan jujur, sehingga otoritas pajak memperlakukan mereka dengan sopan dan hormat. Pada akhirnya wajib pajak percaya bahwa pemerintah dan otoritas pajak memberikan pelayanan yang baik bagi mereka sehingga wajib pajak patuh dalam memenuhi kewajiban pajaknya secara patuh dan benar.
b. Kewenangan Otoritas Pajak
Kewenangan otoritas pajak menurut Kirchler, Hoelzl, dan Wahl (2008) adalah persepsi wajib pajak terhadap kemampuan otoritas pajak untuk mendeteksi dan menghukum pelanggaran pajak. Beberapa temuan empiris mengenai kewenangan otoritas pajak ini berhubungan dengan temuan tentang pengaruh pendapatan, tarif pajak, probabilitas pemeriksaan, denda, dan audit berulang. Temuan-temuan tersebut memberikan gambaran bahwa efek penegakan berupa peningkatan kewenangan melalui banyak faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pajak. Namun, dalam beberapa penelitian (Andreoni, Erard, dan Feinstein 1998; Fischer, Wartick, dan Mark 1992; Frey 2003), efek jera dari peningkatan kewenangan otoritas pajak tidak mempengaruhi tingkat kepatuhan pajak. Dengan begitu, dalam melihat dimensi kewenangan otoritas pajak kita harus melihat tidak hanya dari sisi objektifitas otoritas pajak yang berupa peningkatan-peningkatan kewenangan (kenaikan tarif, probabilitas audit, denda, dan lain sebagainya), namun juga dari subjektifitas pembayar pajak dalam bentuk persepsi yang menilai sejauh mana otoritas pajak mampu mendeteksi kecurangan pajak dan mencegahnya sedini mungkin.
Persepsi dari pelaksanaan kewenangan otoritas pajak yang berlebihan menyebabkan rasa saling tidak percaya antara otoritas pajak dan wajib pajak sehingga membentuk iklim pajak yang antagonistik. Di dalam sebuah iklim antagonistik, otoritas pajak bertindak dengan asumsi bahwa wajib pajak menghindari pajak ketika mereka memiliki kesempatan untuk itu. Maka, otoritas pajak menggunakan pemeriksaan yang ekstensif dan hukuman yang berat untuk memaksa wajib pajak membayar dengan jujur. Sebagai respon terhadap itu, wajib pajak akan merasa dihukum oleh otoritas dan berusaha untuk melarikan diri dari kewajiban perpajakan.